Mewujudkan
Swasembada Daging
Oleh Abdul Asri Saputra
Impian pemerintah dalam hal pemenuhan kebutuhan daging
sapi domestik tidak pernah berhenti. Tercatat bahwa telah tiga kali ini
pemerintah mengupayakan supaya Indonesia berswasembada daging sapi. Pertama,
adalah tahun 2005 dicanangkan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2010.
Target capaiannya adalah tahun 2010. Kedua, yaitu ketika paruh waktu dan
memandang PSDS perlu digenjot maka dicanangkan program Program Percepatan
Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2010. Keduanya ternyata gagal dan malah sebelum
2009 P2SDS direvisi capaiannya tidak lagi 2010, melainkan menjadi 2014.
Salah satu indikator utama dalam swasembada daging
sapi adalah populasi ternak sapi. Jika populasi ternak sapi mencukupi untuk
kebutuhan konsumsi daging maka dianggap telah swasembada. Untuk PSDS 2014
diharapkan minimal 90% konsumsi daging sapi dapat dipasok dari sapi domestik.
Sisanya, 10%, dipenuhi melalui impor baik dalam bentuk daging segar maupun
bakalan.
Berdasarkan data dasar tahun 2009, populasi sapi saat
itu sebesar 12,6 juta ekor. Diproyeksikan untuk tahun 2014, populasi sapi akan
mencapai 15,5 juta ekor. Populasi sebesar tersebut dapat memenuhi 90% kebutuhan
daging nasional. Oleh karenanya pemerintah mengupayakan supaya populasi ternak
sapi bisa mencapai minimal jumlah tersebut. Ternyata, hasil sensus ternak sapi
dan kerbau menunjukkan populasi ternak sapi kita saat ini telah mencapai 15
juta ekor. Artinya Indonesia telah swasembada daging sapi.
Benarkah Indonesia telah swasembada daging sapi? Bila
menilik pada data hasil sensus populasi sapi dan proyeksi yang dibuat
pemerintah maka dapat dikatakan sebelum tahun 2014 Indonesia telah
berswasembada daging sapi. Lantas apa yang perlu dilakukan selanjutnya?
Sekalipun dianggap memenuhi target populasi, beberapa
persoalan masih harus menjadi perhatian dalam mewujudkan dan mempertahankan
swasembada daging sapi. Pertama, bahwa populasi sapi yang telah mencapai target
tersebut adalah sapi-sapi yang diusahakan secara subsisten (usahatani
subsisten). Skala usaha masih berkisar antara 1-5 ekor, dan ini menunjukkan
tingkat efisiensi usahatani yang rendah. Peternak juga dapat dengan mudah
mengkonversi sapinya untuk kebutuhan sehari-hari tanpa mempertimbangkan
keberlanjutan reproduksi dan populasi ternak.
Persoalan kedua adalah belum tersedianya pusat
perbibitan secara nasional. Tidak adanya perbibitan maka keberlangsungan
populasi dapat terancam apa lagi tingkat konsumsi secara agregat semakin
meningkat, tentu ini akan menguras populasi yang ada. Bila mengandalkan
peternakan subsisten maka dapat diprediksi populasi ternak akan segera menurun.
Keamanan dan stabilitas populasi sapi akan terjaga bila ditopang dengan
perbibitan yang memadai.
Berdasarkan hal di atas maka perlu dilakukan beberapa
upaya dalam rangka mewujudkan swasembada daging sapi bukan saja untuk tahun
2014, tetapi untuk selamanya.
Impor Sapi
Impor masih diperlukan untuk mendorong terwujudnya
swasembada daging sapi 2014. Pemerintah sempat menghentikan impor sapi dari
Australia pada pertengahan tahun ini. Sekalipun peternak domestik menyambut
dengan baik, dampaknya adalah kenaikan harga daging sapi yang cukup signifikan.
Tetapi, ketercukupan akan daging sapi masih belum bisa dipenuhi dari sapi
domestik maka kemudian justru pemerintah menambah kuota impor daging sapi dari
72.000 ton menjadi 90.000 ton. Penambahan kuota ini untuk mengamankan kebutuhan
akan daging sekaligus untuk mengamankan populasi ternak sapi domestik.
Persoalannya, penambahan kuota impor ini dikhawatirkan
para peternak akan mempengaruhi harga sapi lokal menjadi menurun dan ini
berpengaruh pada gairah usaha peternakan sapi domestik. Untuk mengatasi ini
maka perlu kejelasan dan pengawasan yang serius dalam pelaksanaan impor agar
tidak berdampak berlebihan pada gairah peternakan sapi domestik. Paling tidak
impor ditujukan untuk kebutuhan segmen masyarakat tertentu dan terbatas. Dengan
demikian maka tidak akan mempengaruhi usaha peternakan sapi domestik. Sembari
impor terbatas tetap dilakukan maka harus juga kembangkan peternakan sapi
secara terprogram dan terarah.
Periode 1997 – 2001, Indonesia sempat mengurangi
impor sapi bakalan secara signifikan. Hal ini kemudian diikuti oleh pengurasan
sapi domestik sehingga populasi sapi menurun drastis. Kemudian pada tahun 2002
Indonesia kembali meningkatkan impor sapi bakalan guna memenuhi kebutuhan
konsumsi daging sapi. Pada tahun ini rata-rata impor daging sapi per bulannya
adalah 7.000 ton.
Hal di atas memperlihatkan bahwa kebutuhan akan daging
sapi terus meningkat dan pada tahun 2020 bisa menjadi 3 (tiga) kali lipatnya.
Untuk mengantisipasi hal ini maka perlu diupayakan pengamanan populasi sapi
domestik melalui impor sebagai solusi jangka pendek dan terbatas.
Betina Produktif
Tiga puluh persen pemotongan ternak sapi di RPH adalah
sapi betina produktif. Hal ini menunjukkan bahwa pengurasan betina produktif
masih cukup tinggi. Aturan pelarangan pemotongan betina produktif juga dinilai
tidak efektif untuk mencegah pemotongan betina produktif. Hal ini diduga karena
sistem usahatani yang bersifat subsisten sehingga kendali atas pemanfaatan dan
pengkonversian ternak sangat lemah.
Upaya pencegahan pemotongan betina produktif telah
dilakukan oleh pemerintah dengan menyediakan dana kompensasi sebesar 700 miliar
tahun 2011. Ini meningkat dari 450 miliar pada tahun 2010. Mekanismenya adalah
peternak yang mememiliki ternak sapi betina dan produktif maka pemerintah
memberikan insentif. Totalnya adalah 50 ribu ekor betina produktif yang akan
dijaring.
Cara ini dapat saja diterapkan untuk keperluan jangka
pendek dan darurat. Untuk jangka panjang maka cara ini harus ditinggalkan.
Lebih baik dana yang ada digunakan untuk penyiapan usaha peternakan dengan
skala yang lebih ekonomis. Pemerintah harus segera mengkondisikan iklim usaha
yang kondusif bagi pengembangan usaha peternakan sapi secara komersial dan
indutrial. Karena dengan usaha yang seperti ini maka swasembada daging dapat
tercapai dengan arti yang sesungguhnya. Tentu saja dengan tetap
mempertimbangkan peternakan rakyat sebagai bagian pembangunan peternakan secara
nasional.
Optimalisasi dan revitalisasi RPH juga penting untuk
mengetahui tingkat pemotongan dan distribusi daging sapi. Selama ini banyak RPH
yang dibangun tetapi belum efektif pemanfaatannya. Padahal dengan semua
pemotongan melalui RPH maka data ternak akan dapat dipantau dengan baik.
Pengendalian atas pemotonagn ternak betina produktif juga dapat dilakukan di
sini. Data pemotongan akan memberikan informasi penting bagi penyediaan daging
dan ketersediaan bakalan. Ini, pada gilirannya dapat membantu pemetaan dan
perencanaan pengembangan peternakan sapi potong di Indonesia.
Perbibitan
Salah satu kelemahan kita saat ini adalah belum adanya
pusat perbibitan yang memadai. Pusat perbibitan merupakan sumber bagi
ketersediaan bibit unggul untuk pengembangan peternakan sapi. Untuk itu
pemerintah harus segera mengembangkan perbibitan sapi nasional secara terpadu
dengan usaha pengembangan ternaknya serta laju konsumsinya. Dengan demikian
maka antara kebutuhan konsumsi dan ketersediaan bakalan sapi seimbang.
Pemerintah dapat memelopori, memfasilitasi, atau
bertindak sebagai pelaku pengembangan perbibitan. Memang usaha perbibitan
adalah usaha yang bersifat investasi tinggi dan berjangka panjang. Oleh
karenanya pemerintah juga dapat memberdayakan pihak swasta untuk
pengembangannya.
Pengembangan Usaha Skala Efisien
Sebagaimana telah diuraikan di atas, populasi ternak
sapi yang ada saat ini merupakan sapi-sapi yang ada pada peternakan rakyat
dengan skala usaha subsisten. Peternak mengusahakan ternaknya lebih bersifat
sebagai tabungan (saving). Di satu sisi ini menunjukkan bahwa ternak
sapi memberikan nilai ekonomi bagi peternak kecil, tetapi untuk tingkat
efisiensinya masih rendah sehingga dapat mengganggu stabilitas populasi dan
ketersediaan daging sapi.
Swasembada daging sapi tidak bisa hanya bersandarkan
pada sistem usaha subsisten. Kendali atas penguasaan dan pemanfaatan ternak
sapi sangat sulit. Peternak dapat dengan cairnya mengkonversikan ternaknya
untuk kebutuhan hariannya tanpa mempertimbangkan keberlanjutan populasi,
reproduksi dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pemerintah sudah seharusnya
melakukan fasilitasi untuk menarik pihak lain guna melakukan investasi usaha
peternakan. Jika selama ini pemerintah dengan mudahnya memberikan konsesi
penggunaan lahan untuk usaha perkebunan, mengapa tidak untuk memberikan usaha
peternakan sapi.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar