Sabtu, 10 Maret 2012

Mewujudkan Swasembada Daging



Mewujudkan Swasembada Daging
Oleh Abdul Asri Saputra

Impian pemerintah dalam hal pemenuhan kebutuhan daging sapi domestik tidak pernah berhenti. Tercatat bahwa telah tiga kali ini pemerintah mengupayakan supaya Indonesia berswasembada daging sapi. Pertama, adalah tahun 2005 dicanangkan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2010. Target capaiannya adalah tahun 2010. Kedua, yaitu ketika paruh waktu dan memandang PSDS perlu digenjot maka dicanangkan program Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2010. Keduanya ternyata gagal dan malah sebelum 2009 P2SDS direvisi capaiannya tidak lagi 2010, melainkan menjadi 2014.
Salah satu indikator utama dalam swasembada daging sapi adalah populasi ternak sapi. Jika populasi ternak sapi mencukupi untuk kebutuhan konsumsi daging maka dianggap telah swasembada. Untuk PSDS 2014 diharapkan minimal 90% konsumsi daging sapi dapat dipasok dari sapi domestik. Sisanya, 10%, dipenuhi melalui impor baik dalam bentuk daging segar maupun bakalan.
Berdasarkan data dasar tahun 2009, populasi sapi saat itu sebesar 12,6 juta ekor. Diproyeksikan untuk tahun 2014, populasi sapi akan mencapai 15,5 juta ekor. Populasi sebesar tersebut dapat memenuhi 90% kebutuhan daging nasional. Oleh karenanya pemerintah mengupayakan supaya populasi ternak sapi bisa mencapai minimal jumlah tersebut. Ternyata, hasil sensus ternak sapi dan kerbau menunjukkan populasi ternak sapi kita saat ini telah mencapai 15 juta ekor. Artinya Indonesia telah swasembada daging sapi.
Benarkah Indonesia telah swasembada daging sapi? Bila menilik pada data hasil sensus populasi sapi dan proyeksi yang dibuat pemerintah maka dapat dikatakan sebelum tahun 2014 Indonesia telah berswasembada daging sapi. Lantas apa yang perlu dilakukan selanjutnya?
Sekalipun dianggap memenuhi target populasi, beberapa persoalan masih harus menjadi perhatian dalam mewujudkan dan mempertahankan swasembada daging sapi. Pertama, bahwa populasi sapi yang telah mencapai target tersebut adalah sapi-sapi yang diusahakan secara subsisten (usahatani subsisten). Skala usaha masih berkisar antara 1-5 ekor, dan ini menunjukkan tingkat efisiensi usahatani yang rendah. Peternak juga dapat dengan mudah mengkonversi sapinya untuk kebutuhan sehari-hari tanpa mempertimbangkan keberlanjutan reproduksi dan populasi ternak.
Persoalan kedua adalah belum tersedianya pusat perbibitan secara nasional. Tidak adanya perbibitan maka keberlangsungan populasi dapat terancam apa lagi tingkat konsumsi secara agregat semakin meningkat, tentu ini akan menguras populasi yang ada. Bila mengandalkan peternakan subsisten maka dapat diprediksi populasi ternak akan segera menurun. Keamanan dan stabilitas populasi sapi akan terjaga bila ditopang dengan perbibitan yang memadai.
Berdasarkan hal di atas maka perlu dilakukan beberapa upaya dalam rangka mewujudkan swasembada daging sapi bukan saja untuk tahun 2014, tetapi untuk selamanya.
Impor Sapi
Impor masih diperlukan untuk mendorong terwujudnya swasembada daging sapi 2014. Pemerintah sempat menghentikan impor sapi dari Australia pada pertengahan tahun ini. Sekalipun peternak domestik menyambut dengan baik, dampaknya adalah kenaikan harga daging sapi yang cukup signifikan. Tetapi, ketercukupan akan daging sapi masih belum bisa dipenuhi dari sapi domestik maka kemudian justru pemerintah menambah kuota impor daging sapi dari 72.000 ton menjadi 90.000 ton. Penambahan kuota ini untuk mengamankan kebutuhan akan daging sekaligus untuk mengamankan populasi ternak sapi domestik.
Persoalannya, penambahan kuota impor ini dikhawatirkan para peternak akan mempengaruhi harga sapi lokal menjadi menurun dan ini berpengaruh pada gairah usaha peternakan sapi domestik. Untuk mengatasi ini maka perlu kejelasan dan pengawasan yang serius dalam pelaksanaan impor agar tidak berdampak berlebihan pada gairah peternakan sapi domestik. Paling tidak impor ditujukan untuk kebutuhan segmen masyarakat tertentu dan terbatas. Dengan demikian maka tidak akan mempengaruhi usaha peternakan sapi domestik. Sembari impor terbatas tetap dilakukan maka harus juga kembangkan peternakan sapi secara terprogram dan terarah.
Periode 1997 – 2001,  Indonesia sempat mengurangi impor sapi bakalan secara signifikan. Hal ini kemudian diikuti oleh pengurasan sapi domestik sehingga populasi sapi menurun drastis. Kemudian pada tahun 2002 Indonesia kembali meningkatkan impor sapi bakalan guna memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi. Pada tahun ini rata-rata impor daging sapi per bulannya adalah 7.000 ton.
Hal di atas memperlihatkan bahwa kebutuhan akan daging sapi terus meningkat dan pada tahun 2020 bisa menjadi 3 (tiga) kali lipatnya. Untuk mengantisipasi hal ini maka perlu diupayakan pengamanan populasi sapi domestik melalui impor sebagai solusi jangka pendek dan terbatas.

Betina Produktif
Tiga puluh persen pemotongan ternak sapi di RPH adalah sapi betina produktif. Hal ini menunjukkan bahwa pengurasan betina produktif masih cukup tinggi. Aturan pelarangan pemotongan betina produktif juga dinilai tidak efektif untuk mencegah pemotongan betina produktif. Hal ini diduga karena sistem usahatani yang bersifat subsisten sehingga kendali atas pemanfaatan dan pengkonversian ternak sangat lemah.
Upaya pencegahan pemotongan betina produktif telah dilakukan oleh pemerintah dengan menyediakan dana kompensasi sebesar 700 miliar tahun 2011. Ini meningkat dari 450 miliar pada tahun 2010. Mekanismenya adalah peternak yang mememiliki ternak sapi betina dan produktif maka pemerintah memberikan insentif. Totalnya adalah 50 ribu ekor betina produktif yang akan dijaring.
Cara ini dapat saja diterapkan untuk keperluan jangka pendek dan darurat. Untuk jangka panjang maka cara ini harus ditinggalkan. Lebih baik dana yang ada digunakan untuk penyiapan usaha peternakan dengan skala yang lebih ekonomis. Pemerintah harus segera mengkondisikan iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan usaha peternakan sapi secara komersial dan indutrial. Karena dengan usaha yang seperti ini maka swasembada daging dapat tercapai dengan arti yang sesungguhnya. Tentu saja dengan tetap mempertimbangkan peternakan rakyat sebagai bagian pembangunan peternakan secara nasional.
Optimalisasi dan revitalisasi RPH juga penting untuk mengetahui tingkat pemotongan dan distribusi daging sapi. Selama ini banyak RPH yang dibangun tetapi belum efektif pemanfaatannya. Padahal dengan semua pemotongan melalui RPH maka data ternak akan dapat dipantau dengan baik. Pengendalian atas pemotonagn ternak betina produktif juga dapat dilakukan di sini. Data pemotongan akan memberikan informasi penting bagi penyediaan daging dan ketersediaan bakalan. Ini, pada gilirannya dapat membantu pemetaan dan perencanaan pengembangan peternakan sapi potong di Indonesia.
Perbibitan
Salah satu kelemahan kita saat ini adalah belum adanya pusat perbibitan yang memadai. Pusat perbibitan merupakan sumber bagi ketersediaan bibit unggul untuk pengembangan peternakan sapi. Untuk itu pemerintah harus segera mengembangkan perbibitan sapi nasional secara terpadu dengan usaha pengembangan ternaknya serta laju konsumsinya. Dengan demikian maka antara kebutuhan konsumsi dan ketersediaan bakalan sapi seimbang.
Pemerintah dapat memelopori, memfasilitasi, atau bertindak sebagai pelaku pengembangan perbibitan. Memang usaha perbibitan adalah usaha yang bersifat investasi tinggi dan berjangka panjang. Oleh karenanya pemerintah juga dapat memberdayakan pihak swasta untuk pengembangannya.
Pengembangan Usaha Skala Efisien
Sebagaimana telah diuraikan di atas, populasi ternak sapi yang ada saat ini merupakan sapi-sapi yang ada pada peternakan rakyat dengan skala usaha subsisten. Peternak mengusahakan ternaknya lebih bersifat sebagai tabungan (saving). Di satu sisi ini menunjukkan bahwa ternak sapi memberikan nilai ekonomi bagi peternak kecil, tetapi untuk tingkat efisiensinya masih rendah sehingga dapat mengganggu stabilitas populasi dan ketersediaan daging sapi.
Swasembada daging sapi tidak bisa hanya bersandarkan pada sistem usaha subsisten. Kendali atas penguasaan dan pemanfaatan ternak sapi sangat sulit. Peternak dapat dengan cairnya mengkonversikan ternaknya untuk kebutuhan hariannya tanpa mempertimbangkan keberlanjutan populasi, reproduksi dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pemerintah sudah seharusnya melakukan fasilitasi untuk menarik pihak lain guna melakukan investasi usaha peternakan. Jika selama ini pemerintah dengan mudahnya memberikan konsesi penggunaan lahan untuk usaha perkebunan, mengapa tidak untuk memberikan usaha peternakan sapi.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar